Jumat, 31 Juli 2015

Empat Pilar Kebangsaan dan Pendidikan Agama Islam By. Bakri, S.Pd.I, M.Pd.I

 

Inspirasi, Membicarakan Islam di Indonesia seperti  membicarakan uang logam dengan dua sisi yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan. Bagaimanapun sejarah keduanya saling bertalian dalam konteks keindonesiaan. Setidaknya  dalam sejarah kita mencatat secara faktual bahwa hadirnya Indonesia sebagai negara merdeka berkat perjuangan para pendahulu (faundingfathers) yang  notabene beragama Islam setidaknya tanpa berkeinginan untuk  untuk menafikan kehadiran para pendahulu yang beragama non Islam yang jumlahnya bisa dibilang sangat sedikit dari kalangan Indonesia Timur.
Indonesia hari ini adalah milik kita bersama yang warga negaranya beragama berbeda-beda. Karenanya ajaran 4 Pilar Kebangsaan  dalam upaya menjaga kelestarian Indonesia sangat fundamental keberadaannya. Empat Pilar Kebangsaan itu adalah Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.
Bagaimana hubungan keempatnya dengan Pendidikan Agama Islam?? Pertama Pancasila. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.  Rasa kebertuhanan sebenarnya telah melekat sedemikian rupa dalam lubuk hati manusia. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa kesadaran manusia akan kebertuhanan sejatinya telah ada jauh sebelum manusia lahir ke muka bumi ini. (QS. Al-A’raf [7] : 172-173). Dalam Islam konsep Ketuhanan Yang Maha Esa disebut tauhid. Tauhid itulah keyakinan terdalam yang paling awal dari semua agama2  yang ada di  bumi.  Selanjutnya buka QS. Al-Anbiya[21]: 25 dan QS. Al-Ikhlas [112] : 1-4.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Islam menempatkan jiwa manusia pada tempat yang mulia. Dalam Al-Qur’an, Allah telah menegaskan tentang status mulia manusia yang mengatasi makhluk2 lainnya. (QS. Al-Isra’ [17]: 70). Islam juga sangat peduli dengan keselamatan jiwa manusia. (QS. Al-An’am [6]: 151). Islam mengajarkan tak ada bedanya melenyapkan satu nyawa dengan melenyapkan banyak nyawa. Keduanya merupakan perbuatan keji dan mengancam perdamaian dunia. (QS. Al-Maidah [5]: 32).
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Islam memandang, persatuan tidak hanya sekedar kerumunan yang disatukan dalam satu ruang tanpa tujuan. (QS. Ali Imran [3]: 103). Dalam konteks keindonesiaan, tentu saja kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan dengan spirit ketuhanan yang mengedepankan nilai2 kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mengedepankan kepentingan rakyat, yang berkeadilan bagi semua.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan  Perwakilan. Rakyat adalah penguasa tertinggi dalam sebuah Negara karenanya kerakyatan sebagai prinsip kenegaraan berarti kepentingan rakyatlah yang harus menjadi sumber inspirasi setiap kebijakan dan langkah kekuasaan Negara. Dalam kaidah fiqih dikatakan, kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus selalu mengacu kepada kepentingan mereka. Karena pada hakekatnya pemimpin merupakan pelayan bagi yang dipimpinnya. Rasulullah  saw bersabda, “Kamu semua adalah pemimpin  dan setiap pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpinnya.” Perbedaan   pendapat adalah hal yang wajar, karenanya harus disikapi dengan bijaksana. Al-Qur’an mengajarkan musyawarah untuk mufakat dengan cara2 yang lembut. (QS. Ali Imran [3]: 159). Dalam sejarah Islam kita juga menemukan bahwa Rasulullah juga melakukan musyawarah  ketika menghadapi masalah2 keumatan seperti soal strategi dalam perang dan lain-lain.
Sila kelima adalah Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Secara etimologi, adil berasal dari bahasa Arab ‘adala—ya’dilu—’adlan yang berarti lurus, seimbang, dan sama. Jadi adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberikan hak kepada orang yang mempunyai hak. Begitu pentingnya rasa keadilan dalam kehidupan ini, Allah meyebut kata ini lebih dari seribu kali dalam Al-Qur’an, diantaranya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 282, QS. An-Nisa’ [4]: 135, dan QS. Al-Maidah [5]: 42.
Pilar yang kedua adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendiri bangsa ini meyakini bahwa Negara ini akan menjadi besar jika mau bersatu karenanya NKRI yang ada saat ini adalah sebuah ikatan jiwa dan raga anak bangsa. Semangat nasionalisme dapat bersenyawa dengan baik dengan pendidikan agama melalui pengembangan penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini bisa dijalankan hanya mungkin jika Negara dalam keadaan meedeka bebas dari imperialism dan kolonialisme.
Pilar ketiga adalah Bhineka Tunggal Ika. Gagasan negera Indoensia adalah buah dari pahit getirnya perjalanan nusantara di era2 sebelumnya. Pendidikan bukan hanya media transfer of knowledge tapi juga transfer of value. Bhineka Tunggal Ika bukan hanya pengetahuan tapi dia juga nilai. Nilai kebangsaan yang harus ditularkan kepada generasi penerus agar Indonesia tetap lestari.

Pilar terakhir adalah Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa semangat Islam tidak dapat dipisahkan dengan semangat pendirian Negara untuk membebaskan diri dari penjajahan kala itu. Namun demikian tokoh-tokoh Islam kala itu mampu mengerem dirinya untuk tidak memperturutkan keinginan diri atau kelompoknya masing-masing tapi justru berupaya mengayomi kelompok mino-ritas dengan UUD 1945 sebagai UUD Negara.(zigaumarov)

0 comments:

Posting Komentar