Minggu, 02 Mei 2021

Gerakan Moderasi di Sekolah Versus Gerakan Merdeka Belajar

  


Manado, 02/05/2021 Hari ini peringatan Hari Pendidikan Nasional. Adapun tema yang diangkat adalah “Serentak Bergerak Mewujudkan Merdeka Belajar”. Saya tidak tahu apa pilihan tema tahun-tahun ke depan jika program Merdeka Belajar ini tidak segera menunjukkan hasilnya. Saya tidak mengajak pembaca untuk pesimis atau memberikan pandangan minor terhadap program ini. Saya kira kita semua sepakat program ini harus mendapat dukungan dari semua insan pendidik.

Dalam Wikipedia disebutkan program merdeka belajar adalah program kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Anwar Makarim. Esensi kemerdekaan berpikir, harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi. Dalam kompetensi guru di level apa pun, tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi. Merdeka belajar merupakan strategi dunia pendidikan Indonesia dalam hal merespon perubahan.

Berdasarkan Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2019 menunjukkan hasil penilaian pada siswa Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah; untuk bidang matematika dan literasi, Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79 Negara. Menurut Mas Menteri kompetensi utama yang harus dimiliki oleh pengajar dan peserta didik di era sekarang antara lain kemampuan berpikir kritis (critical thinking), kreativitas (creativity), kolaborasi (collaboration), perasan (compassion), komunikasi (communication), dan logika komputational (computation logic).

Mari kita elaborasi bersama 6 (enam) kompetensi utama di atas. Pertama kemampuan berpikir kritis. Semua orang berkeinginan anaknya memiliki pikiran yang kritis begitu juga seorang guru. Seorang guru dituntunt memiliki  daya nalar tinggi untuk mampu membentuk diri peserta didik tumbuh dengan jiwa critical thinking. Satu hal yang patut diperhatikan bersama, terbentuknya peserta didik yang mampu berpikir kritis tidak serta merta menjadi tolok ukur keberhasilan suatu proses pembelajaran. Karena berpikir kritis tanpa adanya guidance suatu saat akan mendatangkan masalah baru.

Kedua kemampuan kreatifitas. Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, baik yang benar-benar merupakan hal baru atau sesuatu ide baru yang diperoleh dengan cara menghubungkan beberapa hal yang sudah ada dan menjadikannya suatu hal baru. Suatu kreativitas dapat menciptakan ketakjuban bagian sebagian orang, karena kreativitas bisa mewujudkan ide-ide cemerlang. Kemampuan kreatifitas ini juga harus dijaga dan dikontrol. Anda bayangkan jika ada seorang peserta didik begitu kreatif menciptakan bahan perundungan atau bullying kepada peserta didik yang lain. Bukankah ini juga akan mendatang masalah baru dalam pembelajaran??. Seorang guru dituntut juga harus mampu memberikan guidance sehingga peserta didik tidak menggunakan kemampuan kreatifitasnya untuk hal-hal yang menyimpang.

Selanjutnya kemapuan ketiga kolaborasi. Kemampuan kolaborasi biasanya kita menyebutnya sebagai kemapuan bekerja sama. Kita membutuhkan tim yang kuat dan handal untuk sebuah proyek kehidupan yang besar. Kemampuan ini bisa dilatih dan dibentuk. Sama persis kehidupan berbangsa kita, saat para pemuda menggagas kemerdekaan negeri ini, mereka telah melakukan banyak hal untuk berkolaborasi atau bekerja sama. Bahkan di kemudian hari, lahirlah Pancasila sila ketiga menyebutkan Persatuan Indonesia. Tanpa adanya persatuan dan kerjasama yang baik tidaklah mungkin kemerdekaan negeri ini tercapai.

Kemampuan keempat adalah kemampuan perasaan atau compassion. Jika dibolehkan menerka-nerka maksud dari Mas Menteri mungkin yang dimaksudkan adalah kemampuan merasa dalam berinteraksi. Ini lebih kepada kemampuan simpati dan empati seseorang terhadap situasi, keadaan, atau kejadian yang menimpa seseorang. Jika iya, maka ini adalah satu-satunya kemampuan yang murni berbasis afeksi atau sikap. Selanjutnya adalah kemampuan komunikasi. Kemampuan ini adalah suatu kemampuan untuk memilih perilaku komunikasi yang cocok dan efektif bagi situasi tertentu. Sehingga tujuan komunikasi bisa tercapai sesuai dengan yang diinginkan.

Kemapuan utama yang keenam adalah kemapuan logika komputational. Kemampuan ini berkenaan dengan metode menyelesaikan persoalan dengan menerapkan teknik ilmu komputer (informatika). Tantangan bebas menyajikan soal-soal yang mendorong peserta didik untuk berpikir kreatif dan kritis dalam menyelesaikan persoalan dengan menerapkan konsep-konsep berpikir komputasional. Kemampuan ini berbasis sain dan teknologi. Satu kemampuan yang sangat dibutuhkan di era industri 4.0.

Selanjutnya jika kita ingin mengklasifikasi enam kemampuan utama ini dalam prespektif ilmu otak, maka dapat kita simpulkan ada dua kemapuan yang didukung dan berbasis otak kiri dan empat kemampuan yang didukung dan berbasis otak kanan. Sebagaimana kita ketahui bersama otak kiri memerankan fungsi logis sehingga dengan mudah dapat kita petakkan yang merupakan bagian ini adalah kemampuan berpikir kritis dan logika komputational. Sementara empat lainnya, kemampuan komunikasi, perasaan, kolaborasi, dan kreatifitas masuk ranah fungsi otak kanan.

Menurut penulis ada satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya dalam dunia pendidikan kita adalah pendidikan karakter yang berlandaskan ideologi negara Pancasila, karena masa depan suatu bangsa tidak serta merta bergantung pada kompetensi kolektif (collective competency), tetapi juga karakter kolektif (collective character). Enam kompetensi utama versi Mas Menteri adalah collective competency dan parktis tidak menyinggung  collective character secara mendasar. Sejarah mencatat Fir’aun hancur dengan bala tentara bukan karena mereka tidak memiliki kompetensi kolektif, namun mereka tidak memiliki karakter kolektif. Mereka tidak percaya kepada Musa dan kaum Bani Israel dan bahkan memusuhinya dengan segala cara. Kisah serupa begitu banyak telah dicontohkan dalam sejarah kehidupan anak manusia.

Kompetensi akademik tanpa empati, kemanusiaan, moralitas, rasa cinta terhadap sesama, serta spiritualitas ini akan sia-sia karena sejatinya tujuan pendidikan adalah memberikan manfaat positif untuk sesama manusia. Terkait dengan hal Islam sebagai agama yang luwes dan terbuka memiliki karakter kuat tentang keterbukaan, moderasi atau wasathiyyah, tawazun, tasamuh, dan i'tidal atau tegak lurus untuk kemaslahatan kehidupan manusia. Tan Malaka pernah mengatakan tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasaan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Setali dengan ini Helen Keller mengatakan bahwa pencapaian tertinggi dari pendidikan adalah toleransi (tasamuh). Dalam bingkai keIndonesiaan, seorang peserta didik bukan hanya diajarkan tentang toleransi atas adanya perbedaan tetapi juga harus diajarkan bagaimana belajar mencintai perbedaan. Perbedaan adalah sunnatullah, sesuatu yang telah menjadi qada’ dan qadar Allah.

Nilai-nilai moderasi tidak pernah kita dapatkan dalam collective competency, ia hanya mungkin tercipta dalam pembelajaran yang berbasis collective character. Collective character dalam bahasa agama kita menyebutnya akhlak. Untuk membentuk jiwa pribadi peserta didik yang berakhlak dibutuhkan guru-guru yang berakhlak mulia. Suri taulan, contoh, atau role model menjadi penting dalam pendidikan karakter. Butuh waktu yang panjang untuk mengetahui hasil pendidikan karakter. Namun wujud dari pendidikan karakter adalah kemampuan sikap moderasi dalam kehidupan khusunya kehidupan di sekolah yang merupakan miniatur kehidupan masyarakat luas. Kemampuan literasi moderasi harus selalu dipupuk dan diasah beriringan dengan enam kompetensi utama sehingga akan menciptakan wujud peserta didik yang sempurna. Yaitu peserta didik yang handal dalam kompetensi dan mulia dalam akhlak. Gerakan moderasi di sekolah harus bergerak bersama dengan program merdeka belajar.

Selamat Hardiknas, 2 Mei 2021

Penulis:

Bakri, S.Pd.I., M.Pd.I

Guru SMK Islam Yapim Manado

0 comments:

Posting Komentar